Tuesday, March 22, 2011

Libya Memasuki Fase Baru

Selama bertahun-tahun masyarakat dunia hanya sedikit mengenal Libya. Dan yang sedikit itu lebih sedikit lagi yang mengenal apa yang sebenarnya sedang terjadi di Libya. Geger demonstrasi di Tunisia sebulan yang lalu yang akhirnya menumbangkan rezim berkuasa telah menularkan wabah ketidak puasan terhadap penguasa "tiran" di sejumlah negara Timur Tengah. Sebut saja, Mesir, Yaman, Aljazair, Bahrain, dan terakhir Libya.
Di Mesir penguasa 30 tahun negeri itu, Hosni Mubarak, langsung tumbang dalam 2 atau 3 minggu demo rakyat yang heboh. Di Aljazair dan Yaman sedang bergolak. Rakyat Bahrain juga masih maju-mundur menentang penguasa (sultan). Tapi di Libya?
Beda dengan Tunisia, Aljazair, atau Mesir, pemimpin Libya (Kolonel seumur hidup Muammar Ghaddafi juga dieja Khaddafy) memiliki temperamen jauh beda dengan para kepala pemerintahan di negara-negara Timur Tengah pada umumnya. Ghaddafi mewarisi semangat dan jiwa ksatria gurun yang kuat. Sifat dan watak keras kepala sang kolonel memang pas dengan kondisi gurun Sahara yang serba keras. Setelah kekuasaan atas negeri Libya diperoleh melalui kudeta terhadap Raja Idries, sang kolonel terus mempertahankan kekuasaan dengan jalan apa saja (bila perlu mengorbankan rakyat). Karena baginya, setiap penentangan terhadap pemerintahannya akan dihadapi dengan semangat berkobar. Baginya kata "menyerah" adalah "tabu". Apapun akan dilakukan untuk mengalahkan musuh-musuhnya.
Ketika para penentangnya melancarkan serangan secara terbuka dan dalam waktu dekat dapat menguasasi kota-kota di luar ibukota Tripoli, Gaddafi tidak merasa gentar dan melakukan serangan pembalasan tanpa ampun.
Nah, sekarang ini dunia melihat bahwa para pejuang anti-Gaddafi sudah mulai dapat sang kolonel, sementara masyarakat dunia (utamanya AS dan sekutu-sekutu Eropanya) berharap Ghaddafi dapat ditumbangkan masyarakatnya sendiri. Ketika harapan itu ternyata semakin jauh dari kenyataan, AS segera unjuk kekuatan dengan melakukan serangan udara besar-besaran terhadap Libya.
Tindakan AS dengan dibantu para sekutunya ini bukan pertama kali dilakukan. Dulu AS pernah menyerang Vietnam, Panama, Yugoslavia, Irak, dan terakhir Afghanistan sebelum menyerang Libya. Pertanyaannya apakah tindakan menyerang ke negara berdaulat itu dapat dibenarkan secara hukum internasional? Apakah serangan itu justru tidak malahan menambah ruwet krisis Libya? Apakah dibenarkan pula negara berdaulat ikut campur (menyerang dengan keroyokan) terhadap negara lain yang juga berdaulat?
Jawabannya kembali ke hati nurani kita masing-masing. Kita tidak tahu persis apa yang terjadi di sana. Yang kita tahu adalah dari laporan para wartawan yang mungkin berada di sana. Harapan kita semoga kekuasaan itu dapat dialihkan sesuai dengan aturan (normatif) yang berlaku. Sang penguasa jangan terlalu lama berkuasa, karena seperti kata diplomat Inggris Lord Acton yang terkenal, "Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely".
Untuk apa sih kelamaan berkuasa, bikin tidak dapat tidur tenang aja.... (R)