Friday, November 28, 2008

Mejeng di Bromo


Fara namanya. Adik-adik kelasnya memanggilnya Mbak Fara atau Kadhep (Kak Faradiba). Saat difoto dia masih kelas IX SMP Negeri 3 Batang. Foto dibuat di gardu pandang G. Bromo pada saat Fara klayu ibunya (Bu Nanik Sugito) berwisata bersama keluarga besar SMA Bhakti Praja Batang ke G. Bromo. Mana lebih khas senyum Mbak Fara atau senyum Monalisa karya Leonardo da Vinci? Jangan banding-bandingkan. Setiap senyum mempunyai kekhasannya sendiri, termasuk senyum Mbak Fara. Oke? Selamat Mbak semoga lancar studynya. Mbak Fara titip salam buat siapa saja yang berkenan menengok blognya Pak Sugito ini (Ronggos). Jangan lupa ikuti terus tulisan Pak Gito yang diunggah dalam bog ini. Pak Gito mempunyai banyak kisah dan cerita yang akan diunggahnya. Tapi sabar dulu karena kesibukan Pak Gito yang banyak sehingga tidak setiap hari dapat menulis di sini. Daaaaggg!!!

Bromo Atau Batok?

Anda yang belum pernah berwisata ke Taman Nasional Bromo-Semeru pasti mengira gambar yang terunggah dalam blog ini Gunung Bromo. Yang betul adalah Gunung Batok. Gunung Bromo berada di sebelah Gunung Batok (tidak tampak), yang tampak hanya kepulan asapnya karena Gunung Bromo termasuk salah satu gunung-gunung berapi di Jawa Timur yang sangat aktif. Selain menawarkan pemandangan alam yang spektakuler, kawasan wisata Gunung Bromo juga terkenal dengan wisata budayanya. Di sana terdapat suku Tengger (pecahan suku Jawa) yang measih mempertahankan budaya leluhurnya (orang-orang Tengger) yang menganut tradisi Jawa Kuno (jaman Majapahit). Meskipun sudah banyak orang-orang Tengger yang memeluk agama Islam, namun sisa-sisa kepercayaan lama itu masih mereka uri-uri dalam kehidupan sehari-hari. Orang-orang Tengger hidup di sekitar wilayah Gunung Bromo (desa Ngadisari) dan dalam keseharian mereka sangat menjunjung tinggi kebersamaan dan keharmonisan hidup (meskipun berbeda agama dan keyakinan).
Anda ingin ke sana? Gampang. Fasilitas jalan bagus, mulus. Mau menempuh dari arah Malang, Probolinggo, atau Pasuruan. Tidak masalah. Pemprov Jatim sangat memahami potensi wisata Gunung Bromo sehingga semua fasilitas yang mengarah kepada layanan wisatawan disediakan dengan baik. Bagi yang ingin ngekros dengan sepeda motor atau ngreli dengan mobil di lautan, di Bromolah tempatnya. Karena lautan di Bromo bukan lautan air, melainkan lautan pasir. Okay?

Wednesday, November 26, 2008

Burung-Burung Yang Memesona

Indonesia konon surganya berbagai jenis burung. Bukan ngecap memang. Ketika saya masih kecil (usia 12 tahunan), saya dan teman-teman kecil saya sering bermain di hutan dekat kampung (maksudnya mencari kayu bakar sambil bermain), banyak sekali jenis burung liar yang kami lihat di sana, diantaranya yang masih saya ingat adalah pipit, kutilang, srigunting, deruk (derkuku), pelatuk, cici, citho, branjangan, terocok, kepodang, jalak uren, gelatik, dan manyar.
Setelah dewasa (karena tuntutan keadaan) saya sudah jarang bepergian ke hutan. Dan kata anak-anak yang bepergian ke hutan, sudah amat jarang dijumpai burung-burung yang saya sebutkan tadi. Kalaupun masih ada burung yang masih terlihat di hutan hanyalah pipit (emprit) dan deruk dan sesekali kutilang. Kemana perginya burung-burung lainnya? Tidak tahu. Menurut beberapa sumber yang layak dipercaya dan kenyataan di lapangan, burung-burung itu tiada karena banyak yang diburu (dibunuh, ditembak) oleh manusia. Katanya, burung-burung itu dijadikan makanan burung goreng di warung-warung kaki lima yang menyediakan menu itu. Ada pula anak-anak burung yang diambil dari sarangnya sewaktu mereka masih kecil. Selain itu, penebangan liar dan pengalihan fungsi hutan menjadi lahan produktif atau pemukiman menjadikan habitat burung semakin berkurang, dan akhirnya hilang sama sekali. Sekarang ini amat sulit untuk menemukan burung semacam srigunting, terocok, gelatik, kepodang atau pelatuk di alam bebas. Anehnya, burung-burung semacam kepodang dan jalak justru ditangkarkan untuk keperluan bisnis.
Suatu hari di tahun 2007, saya dan isteri dalam perjalanan dari Pagilaran ke Ngadirejo pernah menjumpai seekor burung pelatuk yang sedang mematuk-matuk batang kayu, bukan main senangnya saya setelah puluhan tahun tidak menjumpai burung tersebut di habitatnya. Saya berdoa semoga tidak ada anak-anak usil yang membunuhnya untuk kesenangan semata.
Burung elang jawa yang legendaris juga termasuk jenis burung yang nyaris punah. Kini jenis elang tersebut hanya dapat dijumpai di lereng utara Pegunungan Dieng yang masuk wilayah Kabupaten Batang (Blado, Reban, Bandar, Bawang, dan Wonotunggal). Saya pernah melihat seekor elang jawa berputar-putar di angkasa Blado ketika saya dan keluarga rekreasi ke Agrowisata Pagilaran.
Mengapa habitat burung di Jawa (dan Indonesia pada umumnya) terancam punah? Jawaban yang paling umum adalah pertama, orang-orang Indonesia kurang menyadari betapa pentingnya alam dan seisinya (hewan dan tanaman) bagi kehidupan manusia di dunia. Karena kurang sadar itulah sebagian manusia Indonesia mudah sekali merusak alam dan isinya untuk kepentingan sesaat. Kedua, pemerintah kurang tegas menindak para pelaku perusakan alam (meskipun perangkat hukumnya sudah ada), akibatnya para pelaku perusakan alam dapat berbuat s esuka hatinya kapan saja di mana saja.
Berbeda dengan penduduk di negara tetangga kita, sebut saja Australia. Warga di sana sangat menghargai keadaan alam dan seisinya dan menjaga kelestariannya. Meskipun kehidupan warganya modern, namun mereka tetap menjaga keadaan alamnya. Aneka satwa dan burung tetap lestari dan hidup bebas hingga sekarang. Burung parkit hijau yang ada dalam gambar di atas adalah salah satu jenis burung paling banyak bisa ditemukan dimanapun, khususnya di Negara Bagian Queensland. Dan uniknya di sana tidak ada kasus-kasus flu burung seperti di negara kita. Heran ya?